Tak terasa ayam jago
sudah mulai berkokok, setelah terlelap semalaman karena lelah yang tertahankan
menjalani rutinitas hari kemarin. Jam baru menunjukkan pukul 03.00, tapi aku
harus lekas beranjak dari tempat tidur ku. Kalau kesiangan bisa-bisa aku tak akan
dapat uang sepeserpun dan itu akan menjadi kerugian besar bagi diriku. Kamar
mandi menjadi tempat sasaranku, kuambil segayung air dan kubasuh muka yang
masih setengah sadar. Lalu aku lekas
beranjak untuk mulai menata semua perlengkapan yang akan digunakan untuk
memasak. Ku mulai dengan menyalakan tungku yang sudah reot, usia tunggku ini
mungkin hampir sama dengan usia ku kini. Mulai kusiram sedikit minyak tanah
agar tungku cepat menyala. Sembari menunggu tungku itu membara, perhatianku
kualihkan ke bahan – bahan makanan yang belum terjamah.
Tak terasa mentari di
ufuk timur pun suda mulai menari, seolah menghiburku yang dari pagi buta lebih
dulu berkubang dengan pekerjaanku. Ini berarti pertanda diriku harus lekas
beranjak ke pasar untuk menjajakan makana yang telah ku persiapkan. Iya, semua
masakan memang sudah tersaji di meja dan siap untuk ku tata di gerobak. Sembari
menata semua masakan ke gerobak sembari aku berdoa, semoga dagangan ku laris
terjual dan berkah bagi diri dan keluargaku.
Dengan langkah penuh
semangat diriku mulai menuju pasar, rasa letih itu seolah tidak aku rasakan.
Mungkin semua itu terabaikan oleh semangat diriku yang menggebu. Setelah
berjalan beberapa puluh meter, akhirnya aku pun sampai juga di pasar. Tak
menunggu lama-lama aku pun langsung menata dagangan dan mulai memasang tenda
serta tidak lupa meja dan bangku untuk tempat makan pelanggan.
Tidak bisa dipungkiri
pasar merupakan nadi kehidupan bagi ku dan bagi sebagian besar penduduk di
sekitar pasar itu. Setiap hari sebagian dari kami menggantungkan hidupnya dari
jual beli dan jasa di pasar. Ada yang berdagang makanan seperti diriku,
berjualan pakaian, sembako bahkan ada pula yang menawarkan jasa sebagai kuli
angkut barang. Semua itu mereka jalani tanpa rasa mengeluh walau pun sama
seperti ku yang harus rela bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan dagangannya.
Semua memunyai harapan yang sama, berharap dagangan mereka laku dan bisa membawa pulang uang bagi keluarga mereka.
Sembari menunggu
pelanggan menghampiri lapak daganganku sembari pula aku berpikir tentang
nenek-nenek renta yang ada depan pandanganku. Iya nenek itu berada beberapa
meter dari lapak dangan ku. Aku sungguh kagum dengan nenek itu, walau di
usianya yang sudah senja beliau masih punya semangat untuk tetap bekerja. Padahal
wanita seusia dia harusnya sudah tidak lagi bekerja bahkan seharusnya dia
tinggal dirumah menikmati hari tuanya. Mungkin ada beberapa faktor yang
menyebabkan di usianya yang senja di amsih tetap bekerja. Memang benar nenek
ini hidup sebatang kara, setelah dia ditinggal oleh anak tunggalnya merantau.
Sudah 20 tahun anaknya pergi ke ranah rantau dan belum pernah kembali. Dan 2
tahun setelah kepergian anaknya merantau, dia pun ditingggal oleh suami
tercinta untuk selama-lamanya. Sungguh terharu aku mendengar cerita itu dari
Ibu-ibu di pasar yang mengenal dia. Akan tetapi dia tidak pernah mengeluh dan
ingin dikasihani oleh orang lain.
Cerita nenek tadi
menjadi motivasi diriku untuk lebih giat dan semangat untuk bekerja. Aku masih
muda dan masih punya banyak tenaga untuk bisa lebih dari nenek itu. Dan harapan
ku untuk membahagiakan orang tua ku bisa tercapai. Walau mungkin memang berat
kalau untuk memberangkatkan mereka ke tanah suci. Tapi, tidak ada yang tidak
mungkin di dunia ini. Asal kita berusaha dan percaya bahwa kita bisa pasti
semua harapan bukanlah isapan jempol belaka. Seperti salah satu sinetron penuh
hikmah “TUKANG BUBUR NAIJ HAJI”. Keluarga Haji Sulam yang notabene dari
keluarga yang biasa-biasa saja tapi bisa memberangkatkan keluarganya dan dirinya
ke tanah suci, bahkan salah satu tetangganya pun diajak untuk beribadah ke
tanah suci. Kesungguhan dan keikhlasan Haji Sulam lah yang membuat dirinya
mendapatkan apa yang selama ini dia inginkan. Disetiap malam dan di setiap
waktu dia selalu memohon kepada sang khalik serasa berikhtiyar menjual bubur.
Dia pun selalu memberi makan anak yatim walau kadang uang untuk modal usahanya
lagi kurang, dan terpaksa harus meminjam ke tetangga. Tapi Dia melakukan semua
itu dengan ikhlas dan hanya mengharap ridho dari sang khalik. Walaupun ini
hanya sinetron tapi setidaknya bisa menginspirasi ku untuk bisa membahagiakan
kedua orang tuaku.
No comments:
Post a Comment