Friday, August 3, 2012

Diriku


Tak terasa ayam jago sudah mulai berkokok, setelah terlelap semalaman karena lelah yang tertahankan menjalani rutinitas hari kemarin. Jam baru menunjukkan pukul 03.00, tapi aku harus lekas beranjak dari tempat tidur ku. Kalau kesiangan bisa-bisa aku tak akan dapat uang sepeserpun dan itu akan menjadi kerugian besar bagi diriku. Kamar mandi menjadi tempat sasaranku, kuambil segayung air dan kubasuh muka yang masih setengah sadar. Lalu  aku lekas beranjak untuk mulai menata semua perlengkapan yang akan digunakan untuk memasak. Ku mulai dengan menyalakan tungku yang sudah reot, usia tunggku ini mungkin hampir sama dengan usia ku kini. Mulai kusiram sedikit minyak tanah agar tungku cepat menyala. Sembari menunggu tungku itu membara, perhatianku kualihkan ke bahan – bahan makanan yang belum terjamah. 

Tak terasa mentari di ufuk timur pun suda mulai menari, seolah menghiburku yang dari pagi buta lebih dulu berkubang dengan pekerjaanku. Ini berarti pertanda diriku harus lekas beranjak ke pasar untuk menjajakan makana yang telah ku persiapkan. Iya, semua masakan memang sudah tersaji di meja dan siap untuk ku tata di gerobak. Sembari menata semua masakan ke gerobak sembari aku berdoa, semoga dagangan ku laris terjual dan berkah bagi diri dan keluargaku.

Dengan langkah penuh semangat diriku mulai menuju pasar, rasa letih itu seolah tidak aku rasakan. Mungkin semua itu terabaikan oleh semangat diriku yang menggebu. Setelah berjalan beberapa puluh meter, akhirnya aku pun sampai juga di pasar. Tak menunggu lama-lama aku pun langsung menata dagangan dan mulai memasang tenda serta tidak lupa meja dan bangku untuk tempat makan pelanggan. 

Tidak bisa dipungkiri pasar merupakan nadi kehidupan bagi ku dan bagi sebagian besar penduduk di sekitar pasar itu. Setiap hari sebagian dari kami menggantungkan hidupnya dari jual beli dan jasa di pasar. Ada yang berdagang makanan seperti diriku, berjualan pakaian, sembako bahkan ada pula yang menawarkan jasa sebagai kuli angkut barang. Semua itu mereka jalani tanpa rasa mengeluh walau pun sama seperti ku yang harus rela bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan dagangannya. Semua memunyai harapan yang sama, berharap dagangan mereka laku dan bisa  membawa pulang uang bagi keluarga mereka.

Sembari menunggu pelanggan menghampiri lapak daganganku sembari pula aku berpikir tentang nenek-nenek renta yang ada depan pandanganku. Iya nenek itu berada beberapa meter dari lapak dangan ku. Aku sungguh kagum dengan nenek itu, walau di usianya yang sudah senja beliau masih punya semangat untuk tetap bekerja. Padahal wanita seusia dia harusnya sudah tidak lagi bekerja bahkan seharusnya dia tinggal dirumah menikmati hari tuanya. Mungkin ada beberapa faktor yang menyebabkan di usianya yang senja di amsih tetap bekerja. Memang benar nenek ini hidup sebatang kara, setelah dia ditinggal oleh anak tunggalnya merantau. Sudah 20 tahun anaknya pergi ke ranah rantau dan belum pernah kembali. Dan 2 tahun setelah kepergian anaknya merantau, dia pun ditingggal oleh suami tercinta untuk selama-lamanya. Sungguh terharu aku mendengar cerita itu dari Ibu-ibu di pasar yang mengenal dia. Akan tetapi dia tidak pernah mengeluh dan ingin dikasihani oleh orang lain.

Cerita nenek tadi menjadi motivasi diriku untuk lebih giat dan semangat untuk bekerja. Aku masih muda dan masih punya banyak tenaga untuk bisa lebih dari nenek itu. Dan harapan ku untuk membahagiakan orang tua ku bisa tercapai. Walau mungkin memang berat kalau untuk memberangkatkan mereka ke tanah suci. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Asal kita berusaha dan percaya bahwa kita bisa pasti semua harapan bukanlah isapan jempol belaka. Seperti salah satu sinetron penuh hikmah “TUKANG BUBUR NAIJ HAJI”. Keluarga Haji Sulam yang notabene dari keluarga yang biasa-biasa saja tapi bisa memberangkatkan keluarganya dan dirinya ke tanah suci, bahkan salah satu tetangganya pun diajak untuk beribadah ke tanah suci. Kesungguhan dan keikhlasan Haji Sulam lah yang membuat dirinya mendapatkan apa yang selama ini dia inginkan. Disetiap malam dan di setiap waktu dia selalu memohon kepada sang khalik serasa berikhtiyar menjual bubur. Dia pun selalu memberi makan anak yatim walau kadang uang untuk modal usahanya lagi kurang, dan terpaksa harus meminjam ke tetangga. Tapi Dia melakukan semua itu dengan ikhlas dan hanya mengharap ridho dari sang khalik. Walaupun ini hanya sinetron tapi setidaknya bisa menginspirasi ku untuk bisa membahagiakan kedua orang tuaku.

No comments:

Post a Comment